Oleh : Abu Zain Wafi
Dalam menyikapi problem yang dialami para penghafal al-Quran yang mana
banyak dari mereka mengeluhkan tentang sulitnya menghafal. Menyikapi masalah
itu maka perlu kiranya untuk mengetahui kendala-kendala yang menyebabkan
lemahnya hafalan kita sehingga tidak ada lagi keluh kesah yang menyebabkan
semakin susahnya kita menghafal bahkan sampai pada tingkat tidak mau
lagi menghafal wal’iyadzu billah.
Diantara kendala yang sangat perpengaruh pada
kemampuan menghafal adalah dengan tidak memberdayakan akhlaqulkarimah dalam
kehidupan sehari-hari. Disisi lain harus
kita faham bahwa kemampuan menghafal akan berbeda antara satu dengan yang lain
tergantung dari IQ masing-masing penghafal al-Quran. Akan tetapi dalam berinteraksi dengan Al-Quran, kebaikan akhlaklah yang menjadi tolak ukur dari
kwalitas hafalan bukan dari banyak atau sedikitnya hafalan yang telah
disetorkan. Sehingga sebagai
penghafal al-Quran harus betul-betul memperhatikan rambu-rambu ini agar bisa menjauhkan diri dari
akhlaq yang tecela.
Diantara akibat buruk akhlak tecela bagi para
penghafal al-Quran adalah:
Pertama: Akhlak tercela maupun pelakunya keduanya sama-sama dibenci oleh Allah.
Imam Ath Thabrani dalam Al
Ausath, Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih, yang dijelaskan keshahihannya
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih al Jami’ dan Silsilah Ahadits Ash Shahihah,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya
Allah itu indah dan mencintai keindahan dan mencintai ketinggian akhlak serta membenci
keburukan akhlak”. Begitu buruknya akhlaq tercela itu sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdoa:
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ
الأَخْلاَقِ لاَيَهدِي لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أنْتَ وَاصْرِفْ عَنَّي سَيِّئَهَا
لاَيَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah tunjukkanlah aku untuk berhias dengan akhlak
yang terbaik karena tidak ada yang bisa menunjukkan kami kepada hal itu kecuali
Engkau, dan jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk dan tidak ada yang bisa
menjauhkan aku darinya kecuali Engkau”
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam At Tirmidzi dengan
sanad yang shahih beliau juga memanjatkan doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ مُنْكَراَ تِ الأَخْلَاقْ وَالأَعْماَلْ وَالأَهْواء وَالأَدْواءِ
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari berbagai
kemungkaran akhlak, amal perbuatan yang mungkar, hawa nafsu, dan segala
macam penyakit”
Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam berlindung kepada
Allah dari keburukan akhlak karena memang keburukan akhlak adalah sesuatu
yang sangat merugikan. Bagaiman Allah ridlo kepada kita sementara kita masih
menjadi pribadi
yang Allah benci. Bagaimana kita bisa meraih barokah dari setiap kalimat al-Quran
yang kita hafalkan, sementara dalam diri kita masih ada sifat yang orang disekitar kita pun
dapat merasakan dampak buruknya. Maka dengan memberdayakan akhlaq yang baik maka
insyaAllah para penghafal al-Quran akan memperoleh rohmat, barokah, ridlo dan
ampunan dari Allah.
Kedua: Kerugian akhlak tercela adalah terhapusnya
amal-amal yang telah kita kumpulkan.
Amal yang telah bertumpuk-tumpuk akan terhapus bahkan bisa
berbuah dosa. Apabila akhlaq yang baik dapat menambah pahala dan menggugurkan
dosa maka akhlak tercela dapat mengurangi bahkan menghapus pahala dan menambah
dosa. Sehingga di akherat nanti pahalanya habis dan dosanya bertambah besar.
Dalam kondisi ini maka bukan
kebahagiaan yang dirasakan tetapi kegundahan, keluh kesah, malas dan
angan-angan yang takpernah terwujud. Inilah yang termasuk bagian dari orang muflis (bangkrut)
Dalam hadits disebutkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا المُفْلِسُ ؟
قَالُوْا المُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَمَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسِ مِنْ أُمَّتِي يَأْ تِي يَومَ القِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامِ
وَزَكَاةِ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا
وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
أُخَطَايَا هُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang
bangkrut?”, mereka (para shahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara
kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”.
Rasulullah berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang
pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang dan
telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak
benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si
fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan
si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus
kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah
ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke neraka”
[HR. Muslim IV/1997 no.2581)
Semua orang akan menganggap bahwa orang muflis
(bangkrut) adalah orang yang tidak mempunyai harta atau orang yang gagal dalam
usaha. Bahkan para sahabat ketika ditanya oleh Rasulullah mereka menjawab dengan jawaban yang
sama.
Oleh karena itu untuk para penghafal al-Quran, apakah
rela apabila setiap usaha dan jerih payah dalam menghafal hilang begitu
saja....?. Bagaimana sekiranya amal shaleh yang semestinya merupakan modal
untuk meraih kebahagiaan di akherat menjadi habis....?.
Renungkanlah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
وَ إنّ سُوءَالخُلُقِ يُفسِدُ
العَمَلَ كَماَ يُفسِدُ الخَلُّ العَسَلَ
“Dan sesungguhnya akhlak tercela merusak amal sholeh
sebagaimana cuka merusak madu” (HR Thabrani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam As Shahihah no 907)
Ketiga: Hilangnya jati diri
sebagai ahli Al-Quran.
Sejatinya para penghafal al-Quran
harus mampu berusaha dan mengamalkan kandungan al-Quran sehingga menjadi
manusia yang berjiwa al-Quran. Namun apa jadinya ketika harapan itu tidak
menjadi kenyataan bahkan jauh dari harapan nyata dikarenakan ketika menghafal
al-Quran tidak bisa menjadikannya perisai yang sejatinya adalah jati diri bagi
para penghafal al-Quran.
Ketika kita melihat kehidupan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas sekali bahwa
keberhasilan beliau dalam mendidik para sahabat dan mencetak mereka menjadi
generasi terbaik adalah karena beliau dibimbing langsung oleh Allah melalui
panduan kalam-Nya al-Quran al-Karim. Inilah point penting yang harus di ingat
oleh para penghafal al-Quran yaitu mempertahankan jati dirinya dengan al-Quran.
Dalam kitab al-arba’una
haditsan fi al-akhlaq Dr. Ahmad Mu’adz Haqqy menyebtkan hadits yang
diriwayatkan oleh imam Muslim, bahwa Aisyah rodliyallahu ‘anha pernah
ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir radliyallahu ‘anhu tentang akhlaq
Rasulullah
يَا أم المُؤْمِنِيْنَ،
أَنْبِئْنِيْ عَنْ خُلُقِ رَسُوْلِ الله، قَالَتْ: أَلَسْتَ تَقْرَأُ القُرْآنَ؟ قُلْتُ:
بَلَى. قَالَتْ: فَإن خُلُقَ نبي الله كانَ القُرْآنَ
“ Wahai
ummil mukminin, kabarkan kepadaku tentang akhlak Rasulullah, Aisyah berkata :
Bukankah engkau telah membaca al-Quran ? maka aku (Sa’ad bin Hisyam
bin Amir) menjawab : Ya. Maka Aisyah berkata : sesungguhnya akhlak nabi Allah
adalah al-Quran. (HR.Muslim)
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan
tentang hadits di atas adalah dengan mengamalkan al-Quran, diam tidak mengeluh
terhadap batasan-batasan yang ada di dalam al-Quran, beradab dengan al-Quran,
mengambil pelajaran dari setiap contoh dan kisah-kisah yang ada di dalamnya,
mentadabburinya dan membaguskan bacaannya.
Oleh karena itu ketika al-Quran
hanya sekedar dibaca dan dihafalkan tanpa aplikasi yang jelas, apalagi hanya
sekedar komersial untuk mendapat keuntungan duniawi, maka ini jelas menandakan
bahwa sang penghafal tidak memiliki jiwa al-Quran yang seharusnya menjadi jati
diri sebagai ahlu al-Quran.
Inilah beberapa dampak buruk dari
akhlaq tercela bagi penghafal al-Quran. Kita berdoa kepada Allah subhanahu
wa ta’ala agar selalu diberikan keistiqomahan dan keikhlasan dalam amal
ibadah sehingga bisa mewujudkan impian kita hidup dibawah naungan ridlo Allah
با لله التوفيق
والهداية
Post a Comment